1. Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri
Manusia berusaha mengenal dirinya dan mengenal alam semesta. Ia ingin lebih tahu siapa dirinya dan bagaimana alam semesta. Disinilah letak persoalan mendasar hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Manusia yang tidak mengenal dirinya dengan baik mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menerima dirinya apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Pengenalan dan penerimaan diri yang baik akan menentukan sikap dan tindakannya baik terhadap sesama, Tuhan maupun lingkungannya. Segala sesuatu yang diciptakan Tuhan di muka bumi ini mempunyai kaitan, hubungan dan saling ketergantungan. Barang siapa mengenal dirinya, sungguh dia akan mengenal Tuhannya, sebab dengan pengenalan itu, manusia mengetahui bahwa selain Tuhan, tidak ada makhluk lain yang bisa menciptakan dirinya dan alam semesta ini menuju kesempurnaan.
2. Hubungan Manusia dengan Sesamanya
Manusia berperan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang dapat dibedakan melalui hak dan kewajibannya. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena manusia merupakan bagian dari masyarakat. Hubungan manusia sebagai individu dengan masyarakatnya terjalin dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan. Oleh karena itu, harkat dan martabat setiap individu diakui secara penuh dalam mencapai kebahagiaan bersama. Masyarakat merupakan wadah bagi para individu untuk mengadakan interaksi sosial dan interelasi sosial. Interaksi merupakan aktivitas timbal balik antarindividu dalam suatu pergaulan hidup bersama. Interaksi yang dimaksud berproses sesuai dengan perkembangan jiwa dan fisik manusia masing-masing serta sesuai dengan masanya. Dengan demikian, tidak setiap kumpulan individu merupakan masyarakat. Dalam kehidupan sosial terjadi bermacam-macam hubungan atau kerjasama, antara lain hubungan antarstatus, persahabatan, kepentingan, dan hubungan kekeluargaan. Sebagai makhluk sosial, manusia dikaruniai oleh Sang Pencipta antara lain sifat rukun dengan sesama manusia.
Relasi manusia dengan sesamanya seringkali menjadi sangat fungsional dan dilandasi oleh kepentingan yang sifatnya semu. Persahabatan pun dibangun atas dasar kepentingan tersebut. Sfat egoisme manusia menjadikan manusia tidak menghargai manusia dan kemanusiaan sebagai karya cipta Allah yang mulia. Anda harus menyadari bahwa orang lain bukanlah ancaman terhadap pribadi Anda. Anda harus mengakui sesama sebagai “Engkau” yang dipanggil bersama membangun relasi personal. Aku menjadi aku karena engkau. Dan Engkau tampil bagi saya sebagai suatu “rahmat” (Marthin Buber). Oleh karena itu, sikap dasar yang ideal dalam kehidupan bersama adalah cinta yang hakikatnya merangkum segala-galanya dan mendasari sikap solidaritas dan subsidiaritas antarsesama manusia. Anda dipanggil membangun hubungan berdasarkan sikap saling menghormati dan dengan disertai kerelaan melayani Tuhan dan sesama.
3. Hubungan Manusia dengan Lingkungannya
Sang Pencipta memberi kuasa kepada manusia untuk menaklukkan alam agar manusia dapat hidup, dan kehidupan manusia tetap ada dan terus berlangsung. Manusia tidak bisa hidup tanpa menggunakan segala sesuatu yang ada pada alam. Ketergantungan manusia-alam atau alam-manusia, menjadikan manusia menggunakan hasil alam untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya. Manusia- alam atau lingkungan hidup-manusia, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam perkembangannya, sebagai upaya menaklukan alam, manusia mengeksploitasi serta mengeksplorasi alam untuk mencapai keingingan dan tujuannya. Sifat dan sikap egois dan keserakahan, pada umumnya telah mendorong manusia mengeksploitasi alam sehingga keharmonisan ekosistem menjadi terganggu dan rusak. Manusia menjadi lupa bahwa ulahnya akan menghancurkan lingkungan tempat ia berada. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memandang bahwa alam merupakan objek yang perlu dieksploitasi sehingga sumber daya alam habis dikeruk untuk kepentingan segelintir manusia. Keseimbangan alam dirusak, kekayaan alam dieksploitasi dengan tanpa batas dan tanpa memperhatikan keseimbangan alam. Keteraturan ekosistem menjadi rusak akibat penetrasi manusia. Karena itu, alam bereaksi terhadap tindakan manusia, hingga mengakibatkan kehancuran hidup dan kesengsaraan manusia.
Ketika manusia berdosa, keharmonisan hubungan tersebut menjadi rusak, termasuk lingkungan hidup. Pemberdayaan alam, tidak terbatas pada pemenuhan kebutuhan manusia, melainkan dibutuhkan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable develovment). Relasi manusia dengan alam tidak sekedar hubungan fungsional. Relasi manusia dengan alam dapat menghantar manusia dalam pengalaman religius yang membuat manusia semakin mensyukuri keindahan alam dan keagungan Allah sang pencipta alam semesta.
4. Hubungan Manusia dengan Tuhan
Manusia seratus persen tergantung pada Allah namun sekaligus seratus persen bebas danmandiri. Bagi orang beriman, penciptaan bukan hanya berarti kesadaran akan kemakhlukannya, melainkan pengakuan akan tindakan kasih dan perhatian Allah. Apa yang tertulis dalam kitab nabi Yeremia, dirasakan oleh semua orang:”Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau” (Yer.1:5). Allah menciptakan manusia sebagai mitra dialog, dan menjadi sahabat-Nya. Dari kebebasan-Nya yang tak terbatas, Tuhan mengadakan manusia sebagai subjek yang bebas juga, yang otonom, berdikari.
Hubungan yang utuh dan benar dengan Allah: manusia dibahasakan sebagai salah satu ciptaan dalam relasinya dengan Allah yang merupakan satu- satunya Sang Pencipta. Inilah identitas dan eksistensi yang utuh dan benar pada waktu penciptaan. Relasi yang utuh telah dipatahkan oleh manusia ketika manusia jatuh dalam kesombongan sehingga manusia merasa tidak lagi membutuhkan Sang Penciptanya. Manusia telah menjadi pencipta bagi dirinya sendiri, ia berkuasa atas dirinya dan yang lain. Tindakan dan sikap sebagai penguasa atas yang lain inilah mengakibatkan rusaknya identitas atau dapat dikatakan krisis identitas. Artinya manusia tidak lagi menjadi manusia sebagai ciptaan yang diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, imago Dei.
Pada hakikatnya manusia memiliki hubungan yang perlu dijalankan, yaitu hubungan sacara vertikal dan horizontal. Hubungan secara vertikal merupakan hubungan manusia kepada Tuhan. Hubungan vertikal ini sangat pribadi, individual, dan spiritual. Hanya manusia dan Tuhan yang tahu seberapa kedekatan itu. Dalam membangun relasi personal dengan Tuhan, manusia sangat dipengaruhi oleh kehidupan sosial manusia dengan relasi dengan dirinya, sesama yang seringkali tidak genuine, tetapi dipenuhi kepalsuan dan kepuraan-puraan. Kehidupan keberagamaan manusia zaman ini yang seringkali jatuh pada formalism: menjalankan syariah atau ritual keagamaan tanpa menyadari membuat relasi manusia dengan Tuhan. Hubungan manusia dengan Tuhan telah kehilangan rohnya. Manusia dalam berelasi dengan Tuhan terkadang kurang jujur, takut membuka jati diri yang sebenarnya. Relasi inilah yang harus dipulihkan kembali agar manusia dapat hidup dan berelasi dengan Tuhan seperti kata sang Pemazmur: “Dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku, dengan telanjang juga aku datang menghadap Tuhan”. Relasi yang jujur, terbuka apa adanya dengan segala kekurangan dan keterbatasan manusia datang kepada Tuhan untuk mencari dan menemukan apa kehendak Tuhan dalam diri Anda.
Oke
ReplyDelete