Martabat Manusia sebagai Citra Allah
Berdasarkan kitab Kejadian 1 : 26-28 dan Kejadian 2 : 7-8, 15-18, 21-25 tampak bahwa manusia diciptakan oleh Allah Sang Pencipta pada hari ke-6 dengan bersabda dan bertindak. Dalam kisah penciptaan itu, manusia diciptakan dalam proses yang terakhir setelah semua yang ada di alam semesta diciptakan. Artinya, manusia diciptakan sebagai puncak ciptaan Allah. Manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, dengan karunia istimewa yaitu akal budi, hati/perasaan, dan kehendak bebas. Adanya karunia akal- budi menjadikan manusia bisa atau memiliki kemampuan untuk memilih, karunia hati/perasaan menjadikan manusia bisa merasakan, dan karunia kehendak bebas menjadikan manusia mampu membangun niat-niat.
Martabat manusia sebagai citra Allah merupakan landasan penghargaan terhadap hak azasi manusia. Semua hak azasi berakar dalam kodrat kemanusiaan yang lahir bersamaan dengan manusia. Nilai-nilai kemanusiaan itu berasal dari Tuhan, pencipta alam semesta. Setiap manusia memperkembangkan kepribadiannya dalam hubungannya dengan sesama atas dasar nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Martabat Manusia sebagai Anak Allah
Manusia sebagai makhluk ciptaan yang mempunyai citra dan rupa Allah mempunyai tujuan yang diberikan oleh Allah sendiri. Tujuan hidup manusia sangat mempengaruhi martabat manusia. Tujuan hidup manusia itu pada dasarnya di luar segala daya pemikiran manusia, di luar segala perhitungan manusia bahkan di luar pengertian manusia itu sendiri.
Tujuan hidup manusia pada dasarnya bersifat transendental (bersifat ilahi dan mengatasi segala-galanya), yaitu memenuhi kerinduan manusia mencapai kesempurnaan dalam segala-galanya, yaitu suatu kebahagiaan abadi berupa kehidupan kekal, hidup berbahagia bersama Allah Bapa di surga (Lihat Yoh. 17:1-3; 1Yoh. 3:2; 1Kor. 2:9). Dalam teks tersebut dilukiskan bahwa tujuan hidup manusia masing-masing adalah persatuan dengan hidup Allah Tritunggal untuk selamalamanya. Sebagai anak Allah, manusia terpanggil untuk hidup bersatu dengan BapaNya sesuai dengan rencana Allah. Martabat manusia sebagai anak Allah merupakan kunci untuk memahami sebenarnya siapa manusia.
Martabat Manusia sebagai Pribadi Sosial
Allah tidak menciptakan manusia seorang diri: sebab sejak awal mula “Ia menciptakan mereka pria dan wanita” (Kej. 1:27). Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antarpribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam, manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya. Martabat setiap manusia diuji dalam relasi membina dirinya dengan sesamanya, dan keberhasilan kemanusiaannya dinilai dari sisi kadar etis-moralnya, bukan pada apa yang dimiliki dan melekat pada dirinya.
Setiap manusia yang terlahir, dipanggil untuk turut serta dalam karya penyelenggaraan Ilahi. Tidak terkecuali dan tidak pandang bulu, apa pun agamanya, suku bangsanya, bahasanya, profesinya, di mana pun dan kapan pun ia hidup, dia dipanggil untuk turut serta dalam karya penyelenggaraan- Nya. Panggilan ini berlaku untuk seluruh kehidupan manusia. Selama orang itu mampu, panggilan itu akan tetap datang padanya. Demikian juga dengan tugas perutusan manusia. Karena hidup adalah perutusan, setiap orang yang menjawab panggilan tersebut akan diutus untuk turut dalam karya penyelenggaraan ilahi.
Comments
Post a Comment